ISWAHYUDI (03071003112)
Ikatan Van der Waals
Semua atom dan molekul (bahkan atom gas mulia) menunjukkan saling tarik-menarik berjangkauan pendek yang ditimbulkan oleh
Gaya van der Waals merupakan penyebab dari kondensasi gas menjadi zat
cair dan pembekuan zat cair menjadi zat padat walau tdk terdapat mekanisme
ikatan ionik, kovalen atau ikatan logam.
Tarikan Van der Waals berbanding lurus dengan r-7 , shg hanya
penting utk molekul yang sangat berdekatan. Gaya
ini sangat lemah dibandingkan dengan gaya
pada ikatan kovalen maupun ikatan ionik.
Karena lemahnya ikatan ini, maka gas-gas menguap pada suhu yang rendah.
Titik leleh helium, neon dan argon padat adalah : - 272,2; - 248,7 dan – 189, 2
C
Ikatan hidrogen
yang didiskusikan di atas adalah salah satu jenis gaya antarmolekul. Gaya
antarmolekul khas untuk molekul non polar adalah gaya van der Waals. Asal usul gaya ini adalah distribusi
muatan yang sesaat tidak seragam (dipol sesaat) yang disebabkan oleh fluktuasi
awan elektron di sekitar inti. Dalam kondisi yang sama, semakin banyak jumlah
elektron dalam molekul semakin mudah molekul tersebut akan dipolarisasi sebab
elektron- elektronnya akan tersebar luas. Bila dua awan elektron mendekati satu
sama lain, dipol akan terinduksi ketika awan elektron mempolarisasi sedemikian
sehingga menstabilkan yang bermuatan berlawanan. Dengan gaya van der Waals suatu sistem akan
terstabilkan sebesar 1 kkal mol-1. Bandingkan harga ini dengan nilai
stabilisasi yang dicapai dengan pembentukan ikatan kimia (dalam orde 100 kkal
mol-1). Kimiawan kini sangat tertarik dengan supramolekul yang terbentuk dengan
agregasi molekul dengan gaya
antarmolekul.
Gas yang
mengikuti hukum Boyle dan hukum Charles, yakni hukum gas ideal (persamaan
(6.5)), disebut gas ideal. Namun, didapatkan, bahwa gas yang kita jumpai, yakni
gas nyata, tidak secara ketat mengikuti hukum gas ideal. Semakin rendah tekanan
gas pada temperatur tetap, semakin kecil deviasinya dari perilaku ideal.
Semakin tinggi tekanan gas, atau dengan dengan kata lain, semakin kecil jarak
intermolekulnya, semakin besar deviasinya.
Paling tidak ada dua alasan yang menjelaskan hal ini. Peratama, definisi temperatur absolut didasarkan asumsi bahwa volume gas real sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Molekul gas pasti memiliki volume nyata walaupun mungkin sangat kecil. Selain itu, ketika jarak antarmolekul semakin kecil, beberapa jenis interaksi antarmolekul akan muncul.
Fisikawan Belanda Johannes Diderik van der Waals (1837-1923) mengusulkan persamaan keadaan gas nyata, yang dinyatakan sebagai persamaan keadaan van der Waals atau persamaan van der Waals. Ia memodifikasi persamaan gas ideal (persamaaan 6.5) dengan cara sebagai berikut: dengan menambahkan koreksi pada P untuk mengkompensasi interaksi antarmolekul; mengurango dari suku V yang menjelaskan volume real molekul gas. Sehingga didapat:
[P + (n2a/V2)] (V – nb) = nRT (6.12)
a dan b adalah nilai yang ditentukan secara eksperimen untuk setiap gas dan disebut dengan tetapan van der Waals (Tabel 6.1). Semakin kecil nilai a dan b menunjukkan bahwa perilaku gas semakin mendekati perilaku gas ideal. Besarnya nilai tetapan ini juga berhbungan denagn kemudahan gas tersebut dicairkan.
Paling tidak ada dua alasan yang menjelaskan hal ini. Peratama, definisi temperatur absolut didasarkan asumsi bahwa volume gas real sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Molekul gas pasti memiliki volume nyata walaupun mungkin sangat kecil. Selain itu, ketika jarak antarmolekul semakin kecil, beberapa jenis interaksi antarmolekul akan muncul.
Fisikawan Belanda Johannes Diderik van der Waals (1837-1923) mengusulkan persamaan keadaan gas nyata, yang dinyatakan sebagai persamaan keadaan van der Waals atau persamaan van der Waals. Ia memodifikasi persamaan gas ideal (persamaaan 6.5) dengan cara sebagai berikut: dengan menambahkan koreksi pada P untuk mengkompensasi interaksi antarmolekul; mengurango dari suku V yang menjelaskan volume real molekul gas. Sehingga didapat:
[P + (n2a/V2)] (V – nb) = nRT (6.12)
a dan b adalah nilai yang ditentukan secara eksperimen untuk setiap gas dan disebut dengan tetapan van der Waals (Tabel 6.1). Semakin kecil nilai a dan b menunjukkan bahwa perilaku gas semakin mendekati perilaku gas ideal. Besarnya nilai tetapan ini juga berhbungan denagn kemudahan gas tersebut dicairkan.
Gas ideal dan gas nyata
a. Persamaan keadaan van der Waals
Gas yang mengikuti hukum Boyle
dan hukum Charles, yakni hukum gas ideal (persamaan (6.5)), disebut gas
ideal. Namun, didapatkan, bahwa gas yang kita jumpai, yakni gas nyata,
tidak secara ketat mengikuti hukum gas ideal. Semakin rendah tekanan gas pada
temperatur tetap, semakin kecil deviasinya dari perilaku ideal. Semakin tinggi
tekanan gas, atau dengan dengan kata lain, semakin kecil jarak intermolekulnya,
semakin besar deviasinya.
Paling tidak ada dua alasan yang
menjelaskan hal ini. Peratama, definisi temperatur absolut didasarkan asumsi
bahwa volume gas real sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Molekul gas pasti
memiliki volume nyata walaupun mungkin sangat kecil. Selain itu, ketika jarak
antarmolekul semakin kecil, beberapa jenis interaksi antarmolekul akan muncul.
Fisikawan Belanda Johannes
Diderik van der Waals (1837-1923) mengusulkan persamaan keadaan gas nyata, yang
dinyatakan sebagai persamaan keadaan van der Waals atau persamaan
van der Waals. Ia memodifikasi persamaan gas ideal (persamaaan 6.5)
dengan cara sebagai berikut: dengan menambahkan koreksi pada P untuk
mengkompensasi interaksi antarmolekul; mengurango dari suku V yang menjelaskan
volume real molekul gas. Sehingga didapat:
[P + (n2a/V2)]
(V – nb) = nRT (6.12)
a dan b adalah nilai yang
ditentukan secara eksperimen untuk setiap gas dan disebut dengan tetapan
van der Waals (Tabel 6.1). Semakin kecil nilai a dan b menunjukkan
bahwa perilaku gas semakin mendekati perilaku gas ideal. Besarnya nilai tetapan
ini juga berhbungan denagn kemudahan gas tersebut dicairkan.
Tabel 6.1 Nilai tetapan gas yang
umum kita jumpai sehari-hari.
gas
|
a
(atm dm6 mol-2) |
b
(atm dm6 mol-2) |
He
|
0,0341
|
0,0237
|
Ne
|
0,2107
|
0,0171
|
H2
|
0,244
|
0,0266
|
NH3
|
4,17
|
0,0371
|
N2
|
1,39
|
0,0391
|
C2H
|
4,47
|
0,0571
|
CO2
|
3,59
|
0,0427
|
H2O
|
5,46
|
0,0305
|
CO
|
1,49
|
0,0399
|
Hg
|
8,09
|
0,0170
|
O2
|
1,36
|
0,0318
|
Latihan 6.4 Gas ideal dan gas
nyata
Suatu sampel 10,0 mol karbon
dioksida dimasukkan dalam wadah 20 dm3 dan diuapkan pada temperatur
47 °C. Hitung tekanan karbon dioksida (a) sebagai gas ideal dan (b) sebagai gas
nyata. Nilai hasil percobaan adalah 82 atm. Bandingkan dengan nilai yang Anda
dapat.
Jawab: Tekanan menurut anggapan
gas ideal dan gas nyata adalah sbb:
P = nRT/V = [10,0 (mol) 0,082(dm3
atm mol-1 K-1) 320(K)]/(2,0 dm3) = 131 atm
Nilai yang didapatkan dengan
menggunakan persamaan 6.11 adalah 82 atm yang identik dengan hasil percobaan.
Hasil ini nampaknya menunjukkan
bahwa gas polar semacam karbon dioksida tidak akan berperilaku ideal pada
tekanan tinggi.
b. Temperatur dan tekanan kritis
Karena uap air mudah mengembun
menjadi air, telah lama diharapkan bahwa semua gas dapat dicairkan bila
didinginkan dan tekanan diberikan. Namun, ternyata bahwa ada gas yang tidak
dapat dicairkan berapa besar tekanan diberikan bila gas berada di atas
temperatur tertentu yang disebut temperatur kritis. Tekanan
yang diperlukan untuk mencairkan gas pada temperatur kritis disebut dengan tekanan
kritis, dan wujud materi pada temperatur dan tekanan kritis
disebut dengan keadaan kritis.
Temperatur kritis ditentukan
oleh atraksi intermolekul antar molekul-molekul gas. Akibatnya temperatur
kritis gas nonpolar biasanya rendah. Di atas nilai temperatur kritis, energi
kinetik molekul gas jauh lebih besar dari atraksi intermolekular dan dengan
demikian pencairan dapat terjadi.
Tabel 6.2 Temperatur dan tekanan
kritis beberapa gas yang umum dijumpai.
Gas
|
Temperatur
kritis (K) |
Tekanan
kritis (K) |
Gas
|
Temperatur
kritis (K) |
Tekanan kritis
(atm)
|
H2O
|
647,2
|
217,7
|
N2
|
126,1
|
33,5
|
HCl
|
224,4
|
81,6
|
NH3
|
405,6
|
111,5
|
O2
|
153,4
|
49,7
|
H2
|
33,3
|
12,8
|
Cl2
|
417
|
76,1
|
He
|
5,3
|
2,26
|
c. Pencairan gas
Di antara nilai-nilai koreksi
tekanan dalam tetapan van der Waals, H2O, amonia dan karbon dioksida
memiliki nilai yang sangat besar, sementara oksigen dan nitrogen
dan gas lain memiliki nilai pertengahan. Nilai untuk helium sangat rendah.
Telah dikenali bahwa pencairan
nitrogen dan oksigen sangat sukar. Di abad 19, ditemukan bahwa gas-gas yang
baru ditemukan semacam amonia dicairkan dengan cukup mudah. Penemuan ini
merangsang orang untuk berusaha mencairkan gas lain. Pencairan oksigen atau
nitrogen dengan pendinginan pada tekanan tidak berhasil dilakukan. Gas semacam
ini dianggap sebagai “gas permanen” yang tidak pernah dapat
dicairkan.
Baru kemudian ditemukan adanya
tekanan dan temperatur kritis. Hal ini berarti bahwa seharusnya tidak ada gas
permanen. Beberapa gas mudah dicairkan sementara yang lain tidak. Dalam proses
pencairan gas dalam skala industro, digunakan efek Joule-Thomson. Bila
suatu gas dimasukkan dalam wadah yang terisolasi dengan cepat diberi tekan
dengan menekan piston, energi kinetik piston yang bergerak akan meningkatkan
energi kinetik molekul gas, menaikkan temperaturnya (karena prosesnya
adiabatik, tidak ada energi kinetik yang dipindahkan ke dinding, dsb). Proses
ini disebut dengan kompresi adiabatik. Bila gas kemudian
dikembangkan dengan cepat melalui lubang kecil, temperatur gas akan menurun.
Proses ini adalah pengembangan adiabatik. Dimungkinkan untuk mendinginkan
gas dengan secara bergantian melakukan pengembangan dan penekanan adiabatik
cepat sampai pencairan.
Dalam laboratorium, es, atau
campuran es dan garam, campuran es kring (padatan CO2) dan aseton
biasa digunakan sebagai pendingin. Bila temperatur yang lebih rendah
diinginkan, nitrogen cair lebih cocok karena lebih stabil dan relatif murah.
HUKUM VAN’T HOFF
a. TEKANAN OSMOTIK ( phi
)
Tekanan osmotik
adalah tekanan yang diberikan pada larutan yang dapat menghentikan perpindahan
molekul-molekul pelarut ke dalam larutan melalui membran semi permeabel
(proses osmosis).
Menurut VAN’T Hoff
tekanan osmotik mengikuti hukum gas ideal:
PV = nRT
PV = nRT
Karena tekanan osmotik = phi,
maka :
phi = n/V R T = C R T
phi = n/V R T = C R T
dimana :
phi = tekanan osmotik (atmosfer)
C = konsentrasi larutan (mol/liter= M)
R = tetapan gas universal = 0.082 liter.atm/moloK
T = suhu mutlak (oK)
phi = tekanan osmotik (atmosfer)
C = konsentrasi larutan (mol/liter= M)
R = tetapan gas universal = 0.082 liter.atm/moloK
T = suhu mutlak (oK)
- Larutan yang mempunyai tekanan
osmotik lebih rendah dari yang lain disebut larutan Hipotonis.
- Larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih tinggi dari yang lain disebut larutan hipertonis
- Larutan yang mempunyai tekanan osmotik lebih tinggi dari yang lain disebut larutan hipertonis
- Larutan-larutan yang mempunyai
tekanan osmotik sama disebut Isotonis.
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa larutan elektrolit di dalam pelarutnya mempunyai kemampuan
untuk mengion. Hal ini mengakibatkan larutan elektrolit mempunyai jumlah
partikel yang lebih banyak daripada larutan non elektrolit pada konsentrasi
yang sama.
b. Sifat koligatif
larutan elektrolit dan non elektrolit
Pada 1885, Van’t Hoff menyimpulkan bahwa ada hubungan
antara sifat larutan dan sifat gas
PV = nRT (untuk gas)
pV
= n RT (untuk larutan)
Rumus larutan elektrolit sama
dengan larutan non elektrolit. Bedanya, untuk larutan elektrolit dikali dengan
faktor Van’t Hoff (i)
Faktor Van’t Hoff(i) i =
[1+α (n-1)]
Keterangan :
n = jumlah kation dan anion
α = derajat ionisasi
Yang menjadi ukuran langsung dari
keadaan (kemampuannya) untuk mengion adalah derajat ionisasi.Keterangan :
n = jumlah kation dan anion
α = derajat ionisasi
Besarnya derajat ionisasi ini dinyatakan sebagai:
α = jumlah mol zat yang terionisasi/jumlah mol zat mula-mula
Untuk larutan elektrolit kuat, harga derajat ionisasinya mendekati 1, sedangkan untuk elektrolit lemah, harganya berada di antara 0 dan 1 (0 < α < 1).
Atas
dasar kemampuan ini, maka larutan
elektrolit mempunyai pengembangan di dalam perumusan sifat koligatifnya
sebagai berikut:
Faktor Van’t Hoff(i) i = [1+α (n-1)]
1.) Untuk Kenaikan Titik Didih dinyatakan sebagai:
rTb = m . Kb [1 + α (n-1)] =
W/Mr . 1000/p . Kb [1+ α (n-1)]
n menyatakan jumlah ion dari larutan
elektrolitnya.
2.) Untuk Penurunan Titik Beku dinyatakan sebagai:
rTf = m . Kf [1 + α (n-1)] =
W/Mr . 1000/p . Kf [1+ α (n-1)]
3.) Untuk Tekanan Osmotik dinyatakan sebagai:
= C R T [1+ α (n-1)]
= C R T [1+ α (n-1)]
4.) Untuk penurunan tekanan uap (rP) dinyatakan sebagai:
rP = po . XA. [1+ α (n-1)]